CeloteHany

penulis lepas yang menyukai darat, laut, dan langit

September 7, 2016



Menjadi salah satu tempat tinggal bagi beragam flora dan fauna zona Orientalis, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan kawasan yang penting dan harus dipertimbangkan dengan baik pengelolaannya. Pasalnya saat ini telah banyak kawasan hutan di Indonesia yang akibat tiadanya pengelolaan yang baik terhadapnya, kawasan tersebut berubah fungsinya dan tidak dapat lagi mendukung kehidupan makhluk hidup di sekitarnya secara optimal. Dengan luas kawasan sebesar 2,6 juta hektare, selain mampu mendukung kehidupan beragam flora dan fauna, KEL juga mampu mendukung penyediaan udara dan air bersih bagi lebih kurang 5 juta warga Aceh yang tinggal di sekitarnya.

Dianugerahi kondisi tanah yang subur dan cocok untuk ditanami kelapa sawit membuat kawasan ini bukan hanya dimanfaatkan oleh warga lokal, melainkan juga perusahaan-perusahaan besar penanam kelapa sawit. Walau pada tahun 2014, telah dilakukan penataan batas kawasan dengan memusnahkan ribuan hektare kebun kelapa sawit illegal yang diketahui masuk ke dalam kawasan hutan lindung KEL ini oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang bekerja sama dengan Forum Konservasi Leuser, namun luasan kebun kelapa sawit yang masuk ke dalam kawasan masih terus saja bertambah hingga kini. Jika terus dibiarkan dan tidak diatur pemanfaatannya, maka kawasan hutan lama-lama akan semakin berkurang luasannya dan dapat mempengaruhi kelestarian hidup flora dan fauna yang di dalamnya. 

Belum lagi usai masalah kebun kelapa sawit illegal, baru-baru ini warga Aceh dibuat geram lantaran pemerintah daerah setempat tidak lagi memasukkan KEL ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh dalam Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013. Padahal sudah jelas tercantum dalam lampiran PP RI No 26 tahun 2008 bahwa Kawasan Ekosistem Leuser ini termasuk Kawasan Strategis Nasional (KSN). Sebagaimana pengertian KSN sendiri di dalam Undang-Undang No 26 tahun 2007, yaitu wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.

Seruan untuk melestarikan kawasan hutan di Aceh yang sering digaungkan oleh pemerintah daerah setempat dianggap tidak sesuai dengan kebijakan yang diambil dan diterapkan. Pasalnya dengan tidak memasukkan Kawasan Ekosistem Leuser ke dalam RTRW Aceh maka kekuatan hukum terhadap status kawasan tersebut akan menjadi semakin lemah dan dapat menimbulkan celah bagi oknum tertentu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di KEL secara tidak terbatas. Karena saat ini saja sudah beribu-ribu hektare luas kawasan KEL yang diubah menjadi hutan tanaman sawit. Lebih lagi tingkat perambahan hutan dan perburuan satwa liar juga semakin meningkat di tengah himpitan ekonomi yang tengah di alami rakyat Indonesia. Hal ini tentu saja bukan hany terjadi di KEL, namun juga di kawasan hutan lainnya. Padahal sudah jelas bahwa manusia tidak dapat hidup sejahtera jika lingkungan sekitarnya rusak. 

Mengingat pentingnya keberadaan ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya di masa depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser adalah mata rantai utama bagi lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuh dengan tetap memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena pertimbangan pragmatis.

Melaui Gerakan Aceh Menggugat (GerAM), warga aceh menuntut Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh untuk memasukkan KEL ke dalam Qanun Aceh, karena jika kawasan yang telah dimuat pada Jurnal Ilmiah Internasional IUCN sebagai salah satu “tempat tak tergantikan” kawasan lindung di dunia ini di atur tata ruang dan wilayahnya maka upaya penjagaan terhadap kawasan ini semakin diperketat dan gangguan tangan-tangan manusia yang dengan sengaja mengambil dengan serakah sumber daya alam yang di dalamnya dapat dikurangi. 

Bukan hanya warga Aceh yang menginginkan kelestarian KEL, dukungan serupa datang juga dari warga asing, seperti Leonardo DiCaprio yang pada pertengahan Mei lalu sempat mengunjungi Taman Nasional Gunung Leuser dan KEL. Sudah banyak suara dan aksi positif yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mendukung upaya pelestarian KEL, baik oleh warga setempat maupun lembaga swadaya masyarakat peduli lingkungan. Dan tak main-main, negara lain seperti Jerman juga ikut berpartisipasi mendukung upaya pelestarian KEL ini. Dana senilai 9 juta Euro dikucurkan melaui pihak Bank Pembangunan Jerman (Kreditanstalt fur Wiederaufbau –KfW) kepada pemerintah Indonesia untuk membantu pengelolaan kawasan ini menjadi lebih baik. Seperti yang dilansir dalam website VOA Indonesia, dana ini difokuskan untuk upaya pelestarian sumber daya alam dan hutan, kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat yang berada di wilayah KEL.

Apakah pemerintah Indonesia masih mau berdiam diri melihat pemerintah negara lain berbondong-bondong memperjuangkan agar kawasan ini tidak berubah fungsinya, sedang pemerintah Indonesia sibuk mengurus hal lain dan masih berharap Tuhan akan selalu memberikan nasib baik bagi negeri ini, Indonesia. Tidak sadarkah para pemangku kebijakan tersebut bahwa hampir setiap harinya luasan hutan seluas lapangan bola hilang setiap harinya di Indonesia karena tidak adanya prioritas pengelolaan terhadapnya. Adakah hilangnya hutan tersebut diiringi dengan semakin sejahteranya rakyat, atau justru rakyat kecil semakin miskin dan semakin kaya rakyat yang memiliki kekuasaan di dalam pemerintahan ini. Sudah saatnya suarakan pikiran dan buktikan dalam tindakan nyata demi masa depan Indonesia yang lebih baik.