Menjadi salah satu tempat tinggal bagi beragam flora
dan fauna zona Orientalis, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan kawasan yang
penting dan harus dipertimbangkan dengan baik pengelolaannya. Pasalnya saat ini
telah banyak kawasan hutan di Indonesia yang akibat tiadanya pengelolaan yang
baik terhadapnya, kawasan tersebut berubah fungsinya dan tidak dapat lagi
mendukung kehidupan makhluk hidup di sekitarnya secara optimal. Dengan luas kawasan
sebesar 2,6 juta hektare, selain mampu mendukung kehidupan beragam flora dan
fauna, KEL juga mampu mendukung penyediaan udara dan air bersih bagi lebih
kurang 5 juta warga Aceh yang tinggal di sekitarnya.
Dianugerahi kondisi tanah yang subur dan cocok untuk
ditanami kelapa sawit membuat kawasan ini bukan hanya dimanfaatkan oleh warga
lokal, melainkan juga perusahaan-perusahaan besar penanam kelapa sawit. Walau
pada tahun 2014, telah dilakukan penataan batas kawasan dengan memusnahkan ribuan
hektare kebun kelapa sawit illegal yang diketahui masuk ke dalam kawasan hutan
lindung KEL ini oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang bekerja sama dengan
Forum Konservasi Leuser, namun luasan kebun kelapa sawit yang masuk ke dalam
kawasan masih terus saja bertambah hingga kini. Jika terus dibiarkan dan tidak
diatur pemanfaatannya, maka kawasan hutan lama-lama akan semakin berkurang
luasannya dan dapat mempengaruhi kelestarian hidup flora dan fauna yang di
dalamnya.
Belum lagi usai masalah kebun kelapa sawit illegal,
baru-baru ini warga Aceh dibuat geram lantaran pemerintah daerah setempat tidak
lagi memasukkan KEL ke dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh dalam
Qanun Aceh Nomor 19 tahun 2013. Padahal sudah jelas tercantum dalam lampiran PP
RI No 26 tahun 2008 bahwa Kawasan Ekosistem Leuser ini termasuk Kawasan
Strategis Nasional (KSN). Sebagaimana pengertian KSN sendiri di dalam Undang-Undang
No 26 tahun 2007, yaitu wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara,
pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan,
termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Seruan untuk melestarikan kawasan hutan di Aceh yang
sering digaungkan oleh pemerintah daerah setempat dianggap tidak sesuai dengan
kebijakan yang diambil dan diterapkan. Pasalnya dengan tidak memasukkan Kawasan
Ekosistem Leuser ke dalam RTRW Aceh maka kekuatan hukum terhadap status kawasan
tersebut akan menjadi semakin lemah dan dapat menimbulkan celah bagi oknum
tertentu untuk memanfaatkan sumber daya alam yang terdapat di KEL secara tidak
terbatas. Karena saat ini saja sudah beribu-ribu hektare luas kawasan KEL yang
diubah menjadi hutan tanaman sawit. Lebih lagi tingkat perambahan hutan dan
perburuan satwa liar juga semakin meningkat di tengah himpitan ekonomi yang
tengah di alami rakyat Indonesia. Hal ini tentu saja bukan hany terjadi di KEL,
namun juga di kawasan hutan lainnya. Padahal sudah jelas bahwa manusia tidak dapat
hidup sejahtera jika lingkungan sekitarnya rusak.
Mengingat pentingnya keberadaan
ekosistem dan keanekaragaman hayati, maka sudah seharusnya pemerintah memberikan
perlindungan serta payung hukum yang bisa menjamin keberlangsungannya di masa
depan. Di Aceh, Kawasan Ekosistem Leuser adalah mata rantai utama bagi
lingkungan sekitarnya. Upaya untuk melindunginya harus ditempuh dengan tetap
memasukkannya dalam perencanaan ruang, serta tidak menurunkan statusnya karena
pertimbangan pragmatis.
Melaui Gerakan Aceh Menggugat (GerAM), warga aceh menuntut
Menteri Dalam Negeri, Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh untuk memasukkan KEL ke
dalam Qanun Aceh, karena jika kawasan yang telah dimuat pada Jurnal Ilmiah
Internasional IUCN sebagai salah satu “tempat tak tergantikan” kawasan lindung
di dunia ini di atur tata ruang dan wilayahnya maka upaya penjagaan terhadap
kawasan ini semakin diperketat dan gangguan tangan-tangan manusia yang dengan
sengaja mengambil dengan serakah sumber daya alam yang di dalamnya dapat
dikurangi.
Bukan hanya warga Aceh yang menginginkan kelestarian
KEL, dukungan serupa datang juga dari warga asing, seperti Leonardo DiCaprio
yang pada pertengahan Mei lalu sempat mengunjungi Taman Nasional Gunung Leuser
dan KEL. Sudah banyak suara dan aksi positif yang dilakukan oleh berbagai pihak
untuk mendukung upaya pelestarian KEL, baik oleh warga setempat maupun lembaga
swadaya masyarakat peduli lingkungan. Dan tak main-main, negara lain seperti Jerman
juga ikut berpartisipasi mendukung upaya pelestarian KEL ini. Dana senilai 9
juta Euro dikucurkan melaui pihak Bank Pembangunan Jerman (Kreditanstalt fur
Wiederaufbau –KfW) kepada pemerintah Indonesia untuk membantu pengelolaan
kawasan ini menjadi lebih baik. Seperti yang dilansir dalam website VOA
Indonesia, dana ini difokuskan untuk upaya pelestarian sumber daya alam dan
hutan, kesejahteraan rakyat, khususnya masyarakat yang berada di wilayah KEL.
Apakah pemerintah Indonesia masih mau berdiam diri
melihat pemerintah negara lain berbondong-bondong
memperjuangkan agar kawasan ini tidak berubah fungsinya, sedang pemerintah Indonesia
sibuk mengurus hal lain dan masih berharap Tuhan akan selalu memberikan nasib
baik bagi negeri ini, Indonesia. Tidak sadarkah para pemangku kebijakan
tersebut bahwa hampir setiap harinya luasan hutan seluas lapangan bola hilang
setiap harinya di Indonesia karena tidak adanya prioritas pengelolaan
terhadapnya. Adakah hilangnya hutan tersebut diiringi dengan semakin
sejahteranya rakyat, atau justru rakyat kecil semakin miskin dan semakin kaya
rakyat yang memiliki kekuasaan di dalam pemerintahan ini. Sudah saatnya suarakan
pikiran dan buktikan dalam tindakan nyata demi masa depan Indonesia yang lebih
baik.